Lo Kheng Hong dikenal sebagai salah satu investor bertipe value investing (berbasis nilai) di BEI dan sukses. Bahkan dia dijuluki Warren Buffet-nya Indonesia karena sudah meraup untung dengan memilih saham-saham dengan fundamental baik dan valuasi yang murah.
Value investor biasanya suka mencari saham-saham yang salah harga, alias kondisi ketika nilai intrinsik saham lebih tinggi daripada nilai pasarnya.
Tercatat LKH melakukan pembelian di saham BMTR sebesar Rp 153,4 miliar dengan rata-rata pembelian BMTR di harga Rp 200,013/unit saham yang disebutkan dibeli dengan tujuan untuk investasi.
Kehebatan LKH memang dikenal karena keberanian dan mentalnyamembeli saham ketika semua orang ketakutan dan menjual sahamnya. Ketika kasus flu burung sedang marak-maraknya, LKH malah berani membeli saham pakan ternak ayam PT Multibreeder Adirama Indonesia (MBAI) yang kini sudah merger dengan PT Japfa Comfeed Tbk (JPFA).
Kala itu penjualan ayam anjlok akibat masyarakat takut mengkonsumsi ayam agar tak tertular flu burung sehingga harga ayam dan saham ayam seperti MBAI anjlok parah.
Waktu itu meskipun valuasi Price to Earning Ratio (PER, rasio harga terhadap laba) MBAI berada di bawah angka 1 kali tetapi saja investor tidak berani membeli saham ini. Catatan biasanya saham dianggap sudah murah apabila memiliki PER di bawah 10, apalagi di bawah 1.
Akan tetap flu burung tak mampu menyurutkan niat LKH untuk membeli saham ini, pada tahun 2005 LKH mengkoleksi saham ini di harga Rp 250/unit, 6 tahun kemudian setelah kasus flu burung sudah mereda LKH menjual saham MBAI di harga Rp 31.500, yakni capital gain sebesar 12.600% dan mengantongi cuan sebanyak RP 193 miliar.
Perlu diketahui MBAI adalah salah satu saham legen dari Pak LKH yang dibeli tahun 2005 dan memberikan retun 12.500% dalam 6 Tahun.
Hari ini tentu saja MBAI sudah tidak bisa kita transaksikan lagi karena sudah dimiliki sepenuhnya oleh JPFA. Tapi dari kisah ini, kita coba membongkar sebisa kami dari informasi yang kita kumpulkan.
Ada satu yang mengganjal di pikiran kami yaitu soal posisi utang. Pada tahun 2005, MBAI memiliki ekuitas Rp 12 miliar, total aset Rp 627 miliar. Artinya Rp 615 miliar merupakan liabilitas.
Kami tidak tahu berapa % dari liabilitas itu yang merupakan utang berbunga sehingga kami tidak tahu berapa Debt to Equity Ratio (DER) dari si MBAI. Perkiraan kami, harusnya angka DER ini lumayan tinggi.
Tapi kenapa Pak LKH tetap membeli meskipun utang MBAI tinggi?
Kita tidak tahu alasan pastinya apa. Setelah dipikir – pikir, buat apa menghitung DER jika perusahaan mampu menghasilkan keuntungan besar buat mengikis debt itu.
Semoga postingan ini bermanfaat!