Profil PT. Hartono Plantation Indonesia Agro (HPI-Agro)

PT Hartono Plantation Indonesia (HPI-Agro) milik Grup Djarum ini telah berdiri sejak 2008 sebagai perusahaan agrobisnis kelapa sawit. Berlokasi di Kalimantan Barat, HPI-Agro memulai penanamannya di tahun 2010. Kini, bisnisnya telah berkembang dengan komoditi lain, yakni cengkeh, tembakau, tebu, jarak kepyar, dan minyak atsiri.


Saat ini HPI-Agro dikenal sebagi pemain agrobisnis yang paling terdiversifikasi dibandingkan perkebunan lain. Pengembangan dan pembibitan multi-crop menjadi kunci untuk dapat memenuhi kebutuhan pasar yang lebih luas. Ekspansi HPI-Agro juga telah mencapai Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang menjadi salah satu proyek mercusuar untuk menggarap perkebunan tebu.

Sedari awal, HPI-Agro sengaja tidak ingin memiliki kebun berukuran besar. Pasalnya, manajemen pengelola perusahaan ini berprinsip model bisnis perkebunan yang baik adalah kebun milik petani/masyarakat. Adapun peran perusahaan swasta adalah pada pabrik dan industri. Karena itu, HPI-Agro menjalankan pola kemitraan yang erat dengan petani.

Menurut CEO PT Hartono Plantation Indonesia, Iwan Suhardjo, transformasi perusahaan dimulai tahun 2013 ketika dia pertama kali bergabung. “Saat itu bertepatan dengan masa panen pertama Kelapa sawit serta peresmian pabrik kelapa sawit pertama dengan kapasitas 60 ton per jam. Profit sharing dengan para petani baru dilakukan di bulan Juli 2014.

Di awal Iwan bergabung, perusahaan ini tidak memiliki Key Performance Indicators (KPI) sehingga progres perusahaan mengalami stagnasi. Akhirnya, Iwan menerapkan Balance Scorecard yang bertujuan agar karyawan berada dalam ’satu perahu.’

Menurutnya, dalam lima tahun terakhir, HPI-Agro telah menjalankan 9 transformasi besar. Pertama, mengubah tanaman tahunan menjadi tanaman semusim. Ini adalah strategi natural hedging, dengan tanaman semusim begitu selesai tanam maka akan panen. Sedangkan tanaman tahunan harus ditunggu dalam jangka waktu tahunan, fasenya menjadi lebih cepat. Kedua, mengubah pengembangan proyek menjadi organisasi yang established.

Ketiga, mengubah mode investasi menjadi mode operasional. “Pertanyaan pengembangan bisnispun bergeser dari ‘berapa investasi yang sudah dikeluarkan? Menjadi ‘berapa profit yang sudah dihasilkan?’,” kata Iwan.

Keempat, mengubah dari administratif menjadi manajer strategis. Kelima, mengubah dari ad-hoc menjadi planning-based. Perusahaan menggunakan sistem yang tidak lagi bersifat top-down, menjadi lebih demokratis dengan pendekatan customer oriented. Intinya, bagaimana tim/organisasi dapat men-support target jangka panjang.

Keenam, mengubah dari tradisional menjadi organisasi modern. Ketujuh, mengubah dari perkebunan menjadi industri agrikultur dengan masuk ke sektor hilir sehingga bisnis lebih holistik. Kedelapan, mengubah dari penawaran menjadi manajemen permintaan. “Kami beralih dari red ocean ke blue ocean untuk menangkap peluang baru dengan mengembangkan budidaya tanaman lain,” ujarnya. Terakhir kesembilan, mengubah dari follower menjadi inovator.

Pada tahun 2015 HPI-Agro mulai melakukan akuisisi beberapa perusahaan kelapa sawit. Lalu, membentuk corporate value yakni heartSMILE. Di tahun 2017, akusisi perusahaan sawit tetap berlangsung. Pada sektor hilir, HPI-Agro terintegrasi dengan PT Neka Boga Perisa yang bergerak dibidang pengolahan bahan-bahan penyedap/perasa makanan yang kini menjadi PT Natura Perisa Aroma.

Saat ini, area operasional HPI-Agro tersebar di Jakarta (kantor pusat), Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur. “Di Sumba, kami sebagai pionir perusahaan perkebunan yang dimulai dengan tanaman cengkeh pada tahun 2013. Di Sumba Timur cocok untuk tebu dan castor (jarak),” ungkap Iwan.

Di Sumba juga terdapat pabrik gula yang dikelola oleh PT Muria Sumba Manis, anak usaha HPI-Agro. Pabrik gula ini memiliki kapasitas produksi 12.000 ton per hari atau ton cane per day (TCD) dengan menggunakan teknologi kogenerasi listrik yang digunakan sebagai sumber tenaga pada pompa irigasi dengan teknologi sub-drip dari Israel. Selain itu, juga dilengkapi teknologi fully automatic control dengan unit dekolorisasi sehingga produk yang dihasilkan dapat masuk ke pasar B2B untuk gula industri.

Sekarang ini orientasi pasar HPI-Agro untuk kelapa sawit dan turunannya adalah lokal dan ekspor. Adapun minyak, jarak, rempah-rempah, essential oil lebih banyak ekspor dibanding pasar lokal. Sedangkan, gula, cengkeh dan tembakau khusus untuk pasar lokal. Pelanggannya yakni Louis Dreyfus Company, Wings Food, Sinar Mas Agribisnis & Pangan, Wilmar, dan Mitsui & Co. “Kami ekspor 80% ke Jepang dan Mitsui adalah pelanggannya,” ungkapnya.

Menurut Iwan, tahun 2013-17, perusahaan menjaga sustainable growth dalam pengertian optimalisasi lahan dengan menaman. Lalu, pada  2018-22 komoditas yang telah dikembangkan harus menghasilkan revenue dan profit. “Hasil yang kami peroleh dari 2013 Sampai 2017 adalah penjualan kami terus meningkat. Momentum kami adalah pada tahun 2013 karena pada tahun itu adalah masa konsolidasi,” ujarnya.

Tahun 2013 penjualan HPI-Agro mencapai Rp90,9 miliar meningkat hingga tahun 2017 menjadi Rp2,01 triliun. Selain itu, perusahaan tidak hanya menggantungkan pada kelapa sawit, sehingga nanti di tahun 2022 kontribusi kelapa sawit adalah 58%, selebihnya 42% adalah komoditi lain. Saat ini, areal tertanam HPI-Agro untuk kelapa sawit 75 ribu ha, tebu 14,1 ribu ha, cengkeh 3.000 ha, dan tanaman castor  2.700 ha.